Friday, December 30, 2011

The Last Waltz



Nama saya Lily , kami tinggal di sebuah kota kecil di Manado. Sejak muda Ibu
saya senang sekali menari, oleh sebab itulah ketika hari perkawinannya ayah
memohon agar tarian yang terakhir diberikan hanya untuk dia seorang, maka
dari itulah lagu pertama pada saat mereka menari adalah "The Last Waltz"
dari Engelbert Humperdinck, dan rupanya ini benar-benar menjadi kenyataan,
karena beberapa bulan kemudian pada saat ibu melahirkan saya, ibu meninggal
dunia.

Daddy - begitulah panggilan saya terhadap ayah. Karena kasihnya kepada ibu,
Daddy tidak pernah mau menikah lagi. Saya dibesarkan hanya oleh Daddy dan
nenek saya, dan setiap malam Natal sudah merupakan tradisi bagi Daddy untuk
selalu mengalunkan lagu kesayangannya "The Last Waltz", sambil mengingat
ibu. Ketika saya berusia lima tahun, Daddy mengajar saya menari waltz.

Sejak saat itu, setiap malam Natal, kami menari waltz berdua. Pada hari
ulang tahun saya yang kedua belas, yang bertepatan dengan malam tahun baru,
Daddy memberikan kepada saya hadiah berupa long dress warna merah, dan kami
berdua menari waltz bersama.

Pada saat tersebut, saya benar-benar merasa seperti juga Sang Putri dalam
kisah Cinderella yang sedang menari dengan Sang Pangeran. Daddy mengasihi
saya sehingga hampir semua permohonan saya selalu dikabulkan olehnya, ia
benar-benar mengabdikan hidupnya hanya untuk saya seorang.

Seharian Daddy harus bekerja di kantor, jadi satu-satunya yang membimbing
saya di rumah adalah Nenek, hal ini mengakibatkan saya terlibat pergaulan
bebas, dan akhirnya mulai ketagihan narkoba. Hampir setiap hari saya pulang
ke rumah setelah jauh malam.

Walaupun demikian Daddy selalu menunggu kedatangan saya dengan sabar, ia
baru bisa tidur setelah saya berada di rumah kembali. Bahkan pada malam
Natal yang terakhirpun, saya lebih senang merayakannya di diskotik bersama
dengan anak-anak muda lainnya daripada bersama dengan Daddy, di situlah
untuk pertama kalinya saya melihat Daddy mengeluarkan air mata.

Karena kebutuhan saya akan narkoba semakin meningkat, maka akhirnya saya
mencuri uang tabungan yang seyogianya untuk masa tuanya Daddy, dan melarikan
diri ke Jakarta dengan harapan di sana saya bisa mendapatkan pekerjaan dan
bisa hidup mandiri.

Pada hari-hari pertama saya tinggal numpang di rumah Om saya, dan ternyata
mencari pekerjaan di Jakarta itu tidaklah mudah, sehingga akhirnya saya
terpaksa melamar bekerja di Klab Malam "Blue Ocean" sebagai pramuria. Kalau
dahulu saya menari dengan Daddy, di sana saya terpaksa harus menari dengan
pria yang sebaya dengan Daddy, bahkan tidak jarang di mana akhirnya saya
bersedia untuk menemani mereka tidur di hotel.

Setelah satu bulan saya berada di Jakarta, saya menerima surat dari Daddy
yang dialamatkan ke tempat kost saya, rupanya Daddy mengetahui alamat kost
saya dari Om. Dalam seminggu saya menerima tiga surat bahkan terkadang
lebih, tetapi tidak satu surat pun yang pernah saya balas, boro-boro
dibalas, dibukapun tidak. Masalahnya saya merasa malu dan tidak berani
membaca surat dari Daddy, saya merasa berdosa terhadap Daddy, bahkan saya
merasa jijik terhadap diri saya sendiri.

Sudah lebih dari satu tahun saya di Jakarta, tumpukan surat yang dikumpulkan
sudah ada beberapa dus. Semuanya ini saya simpan dengan rapi, hanya
sayangnya ini hanya sekedar pajangan saja bagi saya, karena saya tidak
berani dan mau membukanya. Saya tidak ingin mengetahui bahwa gadis
kesayangannya Daddy, gadis yang sedemikian ia banggakannya, telah menjadi
seorang pramuria, seorang prostitusi, bahkan sudah menjadi pencandu berat
narkoba.

Beberapa hari sebelum Natal, saya menerima surat lagi yang ditulis dengan
tulisan tangan yang sama, dan bentuk sampul yang sama, tetapi kali ini
tidak dikirim melalui pos maupun ke alamat kost saya, melainkan dikirim dan
dititipkan secara langsung ke klab malam tempat di mana saya bekerja. Dan
ketika saya menanyakan siapa yang menitipkan surat tersebut, ternyata dari
gambaran yang diberikan adalah Daddy sendiri yang telah khusus datang ke
Jakarta untuk mengantarkan surat tersebut.

Ini kali saya sudah tidak tahan lagi untuk membukanya, dengan air mata yang
turun berlinang saya baca surat tersebut, yang isinya sebagai berikut: "Lily
my dearest beloved princess, Daddy sudah sejak lama tahu di mana kamu
bekerja, permohonan Daddy hanya satu saja: "Maukah kamu pulang kembali ke
rumah untuk menari bersama dengan Daddy ?"

Setelah membaca surat tersebut, saya langsung pulang ke tempat kost untuk
membaca ratusan surat - surat lainnya yang belum saya buka, ternyata semua
surat isinya sama, di mana hanya tertulis satu pertanyaan saja yang ditulis
dengan tangan: "Maukah Lily menari kembali bersama dengan Daddy ?"

Hari itu juga saya langsung mengambil keputusan untuk pulang ke rumah.
Karena menjelang Natal, maka hampir semua pesawat fully book, sehingga
terpaksa saya membeli tiket dengan harga yang berkali lipat lebih tinggi,
hanya dengan satu harapan saja agar saya bisa tiba di rumah sebelum malam
Natal nanti.

Setibanya saya dirumah, saya langsung dipeluk dengan erat oleh Daddy, air
matanya turun berlinang dengan deras membasahi kepala saya. Dengan suara
terisak-isak Daddy bertanya sekali lagi: "Maukah Lily menari kembali bersama
dgn Daddy ?" Saya mengangguk sambil menjawab: "YA, tapi apakah Daddy tahu,
bahwa Lily yang sekarang ini bukanlah princess Daddy yang dahulu lagi ? Saya
adalah seorang prostitusi yang kotor, bahkan yang telah mengidap penyakit
AIDS, apakah Daddy tidak malu menerima saya kembali, apakah Daddy tidak
takut ketularan penyakit saya ?"

Daddy tidak berkata sepatah katapun juga, ia hanya pergi memutar lagu
kesayangannya "My Last Waltz", dan memeluk saya dgn penuh kasih untuk
mengajak saya menari seperti pada hari-hari Natal sebelumnya , hanya ini
kali selainnya diiringi oleh irama lagu, juga oleh tetesan air mata yang
turun berderai.

Tanpa saya ketahui, sejak Daddy ditinggal oleh saya, ia sering begadang
menunggu dan mengharapkan kedatangan saya kembali, di samping itu karena
rasa duka yang sedemikian mendalamnya, sehingga akhirnya ia jatuh sakit
kanker, dua minggu setelah Natal Daddy menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Rupanya ia mengetahui bahwa bahwa hari-hari terakhirnya telah mendekati,
oleh sebab itulah ia telah memaksakan diri, walaupun dalam keadaan sakit
sekalipun juga khusus untuk mengantarkan surat bagi saya ke Jakarta, hanya
untuk mewujudkan keinginannya yang terakhir dimana ia bisa mendapatkan
kesempatan sekali lagi menari dengan putri kesayangannya. Masih
terngiang-ngiang dikuping saya lirik dari lagu kesayangannya "The Last
Waltz"
.....
A little girl alone and so shy
I had the last waltz with you
Two lonely people together
I fell in love with you
The last waltz should last forever
But the love we had was goin' strong

Menjelang Natal ini, banyak sekali orang tua yang mengharapkan dan menunggu
kedatangan dari anak-anaknya. Bagaimanapun keadaan dan situasi Anda pada
saat sekarang ini, orang tua kita bisa menerima kita apa adanya, dengan
segala kelemahan maupun kelebihan kita, terlebih lagi mereka tidak mau
mengingat kesalahan-kesalahan kita di masa lampau, yang mereka inginkan
hanya satu saja ialah dapat melihat dan memeluk putera dan puterinya
kembali. Berapa lama lagi Anda akan menyuruh mereka menunggu ? Datang dan
kembalilah sebelumnya terlambat ! Kalau keadaan tidak memungkinkan,
telponlah mereka sambil mengatakan:

I love you Mom & Dad
Merry Christmast